
Di balik kenyamanan penggunaan ponsel pintar dan kendaraan listrik yang akhir-akhir ini mulai meramaikan jalan, tersimpan litium, “emas putih”, sebagai salah satu komponen yang bernilai sangat tinggi dan menjadi inti dari teknologi baterai isi ulang yang saat ini dominan digunakan. Sebagian besar litium yang kita gunakan ini berasal dari tambang yang ketersediaannya di alam sangat terbatas. Padahal, baterai bekas tersebut sebenarnya menyimpan cadangan litium yang bisa dimanfaatkan kembali.
Tim peneliti dari Departemen Teknik Kimia UGM, baru saja menerbitkan inovasi penting dalam jurnal ilmiah internasional ACS Omega, yang membahas bagaimana cara mengolah kembali litium yang dipungut dari baterai bekas agar dapat dipakai lagi. Proses ini disebut daur ulang litium, dan yang menarik, tim ini menggunakan teknologi ultrasonic, sejenis gelombang berfrekuensi tinggi, untuk membantu membentuk kristal litium karbonat dengan ukuran partikel yang lebih seragam dari larutan hasil pelindian.
Ukuran partikel litium karbonat ini penting karena untuk dapat digunakan kembali sebagai bahan baku (prekursor) baterai baru, litium karbonat harus memiliki ukuran dan bentuk yang sesuai standar baterai. Jika terlalu besar atau tidak seragam, performa baterai akan rendah. Di sinilah teknologi ultrasonik berperan: membantu proses kristalisasi agar partikel lithium terbentuk dengan lebih halus dan merata.
Dalam penelitiannya, tim menemukan bahwa suhu dan kekuatan gelombang ultrasonik sangat berpengaruh terhadap hasilnya. Mereka bahkan berhasil memodelkan secara matematis bagaimana partikel-partikel litium ini tumbuh dan berubah selama proses berlangsung. Hasil terbaik diperoleh pada suhu 90°C dan daya ultrasonik 320 watt, kondisi ini mampu menghasilkan partikel litium karbonat dengan distribusi ukuran d10 = 2.85 μm, d50 = 5.5 μm, dan d90 = 14.55 μm, sangat sesuai untuk keperluan sintesis baterai baru.
Penelitian ini bukan hanya soal teknologi canggih. Lebih dari itu, ini adalah langkah konkret menuju ekonomi sirkuler, di mana limbah bisa diubah kembali menjadi sumber daya. Dengan daur ulang baterai, kita bisa mengurangi ketergantungan pada tambang baru, menghemat energi, dan tentu saja, menjaga lingkungan hidup.
Inovasi yang dilakukan oleh Dr. (kand.) Doni Riski Aprilianto yang dibimbing oleh Prof. Indra Perdana, Prof. Rochmadi, dan Prof. Himawan Tri Bayu Murti Petrus ini menunjukkan bahwa anak bangsa mampu berkontribusi di panggung dunia dalam isu penting seperti energi berkelanjutan. Siapa sangka, dari baterai bekas ponsel pintar dan limbah kendaraan listrik, bisa lahir solusi teknologi yang mendukung masa depan yang lebih bersih dan cerdas?
Akses ke artikel di Jurnal ACS Omega: https://doi.org/10.1021/acsomega.5c04035